ARIANTOTLE

Tangis mengalir dan terus mengalir berhulukan mataku. Dalam kegelapan dan kedinginan, sendirian ku tanpa kehangatan. Tiada terdengar yang lain selain isak tangisku, bagai telah mengambil alih kendali suara di sekitarku. Aku terduduk lemas di rerumputan dan terpaku menatap langit. Langit pun kini menangis bagai merasakan apa yang kurasa. Aku menatap kembali kehadapan, “setidaknya air mataku tersamarkan”. Aku kembali tertunduk dan mengamati kedua telapak tanganku yang lemas dan basah.

“Mengapa?”
“Mengapa aku begitu lemah?”
“Apa yang salah pada diriku?”

Pertanyaan itu bagai terlontar tiba-tiba dan menginterogasi kedua belah telapak tanganku. Kulekatkan kedua telapak tanganku kini kepada kedua mataku yang terus saja membanjirkan air mata. Berlarut-larut kini ku dalam samudera air mata, lalu kembali kumenengadah ke langit. Hujan telah berhenti, namun ada sedikit cahaya disana. Mulutku lambat laun menutup dalam harapan. Lambat laun juga cahaya itu membesar dan menutupi segala yang ada di sekitarku. Namun, ku tak melihat asal cahaya itu.

Aku tertunduk dan melihat arsiran hitam di rerumputan. Aku bingung, arsiran itu bergerak seolah cermin yang mengikutiku bergerak.

“Mungkinkah?”


Dengan segera kumemutar badan, dan terlihat nyata di sana cahaya nan besar yang menyinari. Aku sadar bahwa aku berada di arah yang salah, hingga yang kulihat hanya bayangan, namun sang mentari berada di arah yang lain.

Post a Comment