Tangis mengalir dan terus mengalir berhulukan
mataku. Dalam kegelapan dan kedinginan, sendirian ku tanpa kehangatan. Tiada
terdengar yang lain selain isak tangisku, bagai telah mengambil alih kendali
suara di sekitarku. Aku terduduk lemas di rerumputan dan terpaku menatap
langit. Langit pun kini menangis bagai merasakan apa yang kurasa. Aku menatap
kembali kehadapan, “setidaknya air mataku tersamarkan”. Aku kembali tertunduk
dan mengamati kedua telapak tanganku yang lemas dan basah.
“Mengapa?”
“Mengapa aku begitu lemah?”
“Apa yang salah pada diriku?”
Pertanyaan itu bagai terlontar tiba-tiba dan menginterogasi
kedua belah telapak tanganku. Kulekatkan kedua telapak tanganku kini kepada
kedua mataku yang terus saja membanjirkan air mata. Berlarut-larut kini ku
dalam samudera air mata, lalu kembali kumenengadah ke langit. Hujan telah
berhenti, namun ada sedikit cahaya disana. Mulutku lambat laun menutup dalam
harapan. Lambat laun juga cahaya itu membesar dan menutupi segala yang ada di
sekitarku. Namun, ku tak melihat asal cahaya itu.
Aku tertunduk dan melihat arsiran hitam di
rerumputan. Aku bingung, arsiran itu bergerak seolah cermin yang mengikutiku
bergerak.
“Mungkinkah?”
Dengan segera kumemutar badan, dan terlihat nyata di
sana cahaya nan besar yang menyinari. Aku sadar bahwa aku berada di arah yang
salah, hingga yang kulihat hanya bayangan, namun sang mentari berada di arah
yang lain.
Posting Komentar