Cerita dibawah ini hanyalah imajinasi belaka, tidak ada maksud apa-apa. Latar yang saya gunakan yaitu di Kota Dumai dan saya imajinasikan apa yang akan terjadi terhadap kota Dumai jika hal tersebut terjadi. Sekali lagi ini hanya fiktif belaka. Ok, selamat membaca
Tenang dan damai terasa menjalar di tubuhku. Pagi
yang tenang dengan langit cerah sebagai atap kota Dumai tercinta. Aku menjalani
hari jum’at dengan penuh semangat karena aku menanti-nanti pelajaran puisi
nanti. Seperti biasa, aku berangkat sekolah diantar oleh ibuku.
Sesampainya di dekat jembatan penyeberangan dari
jalan Janur Kuning ke jalan Puteri Tujuh dimana sekolahku berada, aku segera
salam dan berpamitan kepada ibuku kemudian segera berlari dan menyeberang jalan
ke sekolah. Dari kejauhan aku mendengar suara motor ibuku yang memutar haluan
untuk kembali pulang.
Pukul 06.55 , aku tiba di kelas yang baru hanya
dihuni oleh sekitar 12 orang. Aku melihat kesekeliling dan melihat temanku
membaca buku sambil mulut mereka berkomat-kamit, sepertinya mereka sedang
menghafal puisi. Aku hanya tersenyum dan segera keluar kelas.
“Eh,” tiba-tiba aku melontarkan ucapan tatkala aku
hampir menabrak dua orang perempuan di hadapanku. Ya, mereka adalah Putri dan
Aisyah, tetangga kelasku.
“Oh, hampir saja,” ucap Putri sambil tersenyum.
Aisyah hanya tersenyum.
“Hehehe oh iya, kalian mau kemana?” tanyaku sambil
tertawa yang agak aneh.
“Mau ke kantin, ari ikut?” tanya Putri
“Hmm, nggak deh, ok, selamat berbelanja, hati-hati
di jalan, jangan sampai ketabrak semut,” ujarku sambil tertawa yang semakin
aneh.
“Oohh iyalah, dadah,” ujar Putri. Lalu mereka
menuruni tangga untuk ke kantin.
Pukul 07.14 , penghuni kelasku semakin ramai dan
semua sedang sibuk dengan apa yang dikerjakannya. Ada yang baca buku, ada yang
cerita, ada yang ketawa, ada yang jalan-jalan, ada yang lari-lari, dan
lain-lain. Sebenarnya ini memang hal wajar bagiku tiap pagi.
Pukul 07.15, “Salam sejahtera untuk kita semua,
karena kita dapat hadir di sekolah yang kita cintai ini, di pagi....”
pengumuman sekolah yang diberikan terputus dan kami didalam kelas berpandangan.
Hatiku cemas dan merasa pusing sambil melihat ke botol air minum Dila yang ada
di depan mejaku. Air di dalamnya begerak dan bergoyang.
“Gempa, gempa, lari..!!” teriak salah seorang
temanku dan juga terdengar teriakan gempa dari kelas sebelah. Langkah kaki yang
ramai mulai menggema di tangga. Aku dan teman-temanku pun segera berlari keluar
kelas dan menuruni tangga dalam kondisi bersempit-sempitan. Dari dalam kelasku,
aku mendengar ada benda yang terjatuh dan kaca yang pecah.
07.18 , kami semua berkumpul di lapangan upacara.
Wajah insan tatkala itu penuh ketakutan dan kepanikan karena gempa juga masih
berlangsung. Aku juga khawatir dengan keluargaku di rumah.
Duaarrrr terdengar ledakan yang terletak tak jauh
dari tempat kami berada. Aku bisa merasakan bahwa itu berasal dari kilang.
Semua semakin panik dan ada yang menangis. Gempa
mereda, namun ledakan tetap terdengar.
07.20 Sirine kilang berbunyi terus menerus, aku
mengerti maksudnya, telah terjadi bencana serius di kilang di sana. Panik
semakin menjadi-jadi, namun guru-guru mencoba menenangkan dan membimbing kami
keluar sekolah dan berlari ke arah selatan, tepatnya ke persimpangan tugu
Chevron dalam barisan yang kacau balau.
Dari kejauhan, dapat dilihat asap membumbung dan warna
merah menyala.
Sekitar 07.40 , sirine masih berbunyi namun disertai
sirine dari tempat lain, ini mirip dengan sirine ketika berbuka puasa dari
masjid-masjid. Sirine ini bersahut-sahutan. Dari arah Timur di kejauhan aku
melihat ada rombongan orang bermotor yang berteriak “Lari, lari, laut mengamuk,
rupat hampir tenggelam!!”. Tak bisa kubayangkan kepanikan saat itu antara warga
sekolahku dan warga Dumai seluruhnya. Sirine masih berbunyi dan dari masjid
terdekat aku mendengar pengumuman “Diberitahukan kepada seluruh warga agar
pergi ketempat yang tinggi karena air laut akan naik”.
“Ari..” terdengar suara dari belakangku, ternyata
itu Putri.
“Ari, gimana ni? aku merinding,” sambungnya.
“Entah juga,” jawabku bernada panik.
“Gimana bisa air laut mengamuk gitu?” tanyanya panik
“Gak tau juga,” jawabku
Aku melihat warga-warga dari kecamatan Dumai Timur
dan dari Dumai Kota berlari ke arahku dalam posisi teriak-teriak bertashbih dan
beristighfar dan beberapa kali bertakbir. Suara motor juga bersahut-sahut dan
segalanya semakin panik.
Guru-guruku segera membimbing kami seluruhnya
berlari ke arah barat daya tepatnya ke arah Bukit Datuk. Dari berbagai arah
juga banyak orang berlari dan menyesakkan jalan ke arah yang kami tuju.
7.55 , Aku dan semuanya melewati jembatan. Tatkala
aku melihat ke arah kanan, tepatnya ke arah sungai. Aku melihat air sungai
tiba-tiba naik.
Teriakan orang semakin menjadi-jadi. Kami pun
semakin cepat berlari dan menerobos gerbang masuk Bukit Datuk. Aku melihat ke
belakang, air sungai telah naik dan membanjiri daerah sekitar dalam arus yang
cukup deras. Aku juga melihat ada warga yang berbalik arah dan memutar ke
daerah Bumi Ayu karena air tersebut telah memotong jalan kami.
08.15
Kami telah berlari jauh dari sungai, namun dari
kejauhan yang ada di belakang, aku melihat air menggenangi jalan dan mencoba
mengikuti kami. Air itu terlihat menyeramkan.
08.45
Kami berhasil mencapai gerbang Bukit Timah yang
kondisi tanahnya cukup tinggi disini. Air tidak terlihat lagi, namun kami tahu
air itu masih mengikuti kami. Kami segera berlari ke daerah yang lebih jauh
lagi.
Benar saja, air kehitaman mulai memasuki gerbang
Bukit Timah yang berada sekitar 500 meter dari kami. Air itu meluncur karena
mengikuti relief jalan yang mencekung. Kami semakin berlari menjauh. Warga
Bukit Timah juga banyak berlari meninggalkan rumah mereka yang telah hancur.
09.10
Kami mencapai ujung jalan Bukit Timah km.11. Namun
semua di luar perkiraan kami. Air dari arah gerbang Bukit Timah tadi tetap menjalar
ke arah kami disertai hadirnya air yang datang dari arah Purnama. Kami mundur
sedikit demi sedikit. Dan akhirnya kami merasa sampai di titik aman. Karena air
tersebut tidak lagi mengejar kami, air itu bergerak horizontal dan saling
menabrak dan tidak mendaki ke jalan tempat kami berada.
Akhirnya kami tetap berada disini.
09.30
Terjadi gempa susulan yang agak kuat. Dalam hatiku
berpikir bingung, bagaimana bisa kota Dumai yang berada di pesisir timur
Sumatra dan jauh dari zona tunjaman lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang
terletak di barat Sumatera, bisa terjadi gempa yang menimbulkan Tsunami begini.
Aku masih tidak mengerti. Aku melihat kesekitar, teman-temanku masih dalam
kondisi panik, histeris dan ketakutan.
Sekitar 09.45, dari kejauhan aku melihat sesuatu di
atas air, kukira itu kayu-kayu yang terapung. Namun ketika sesuatu itu mendekat
baru kami tersadar.
“Lari.... ada Tsunami susulan!” teriak salah satu
warga.
Kami berlari menjauh ke selatan, menghindari
gelombang-gelombang kecil itu yang menaikkan volume air kembali. Namun, apalah
daya. Air itu berhasil menangkap kaki kami dan kami pun terseret ke dalam arus
air itu menjauh dan menjauh dari Bukit Timah.
10.15
Sekian lama aku terapung tenggelam ke sana sini dan
terpisah dari teman-temanku dan guru-guruku satu sekolah, aku merasa lemas dan
terus terasa benda-benda yang menghantam tubuhku. Aku yakin, air ini telah
membawaku menjauh dan semakin menjauh dari pusat kota Dumai yang telah menjadi
lautan. Aku semakin lemas dan lemas, hingga aku tak kuasa dan aku merasa
tenggelam ke dalam air.
12.15
Mataku terbuka tatkala aku mendengar suara Adzan
dari kejauhan. Ya aku bisa melihat langit. Aku mendapati diriku terdampar di
atas pohon yang cukup tinggi dan aku tidak tahu pohon apa ini dan terlebih
lagi, dimanakah tempat ini. Di bawah pohon aku melihat air yang masih
menggenang walau sedikit dangkal. Aku sendirian di atas pohon ini, terdampar.
Aku masih merasa lemas dan aku mulai pingsan.
16.00
Mataku kembali terbuka dan mendapati diriku yang
penuh luka-luka dan berada di tempat yang sepertinya di dalam tenda.
Aku sadar, aku berada di tenda pengungsian. Aku
mencoba bangun. Dan hadir bapak-bapak sepertinya Tim Sar di hadapanku.
“Eh, nak, sudah sadar?” tanyanya
“Errr...Ummm...su..sudah,” jawabku lemah
Bapak itu hanya tersenyum.
Aku ragu, namun memberanikan diri untuk bertanya
“Pak, ini dimana ya pak?” tanyaku
“Oh, ini di tenda pengungsian bagi korban bencana
pagi tadi. Ini di bengkalis.” jawab bapak itu.
Ada rasa kaget dalam diriku, ternyata aku
terombang-ambing hingga ke bengkalis.
Bapak itu lalu tertunduk sedih.
“Sungguh banyak korban yang berjatuhan di dalam
peristiwa yang tak terduga ini,” ujarnya
Aku hanya tertunduk lalu spontan aku menjawab. “Iya
pak dan saya bersyukur bisa selamat, tapi.....saya tidak tahu dimana keluarga
dan teman-teman saya,” ujarku.
Bapak itu mengelus pundakku. “Sabar, semua pasti ada
hikmahnya, dan mungkin saja keluarga dan teman-teman kamu selamat dan berada
ditempat lain.”
Aku tertunduk dan terus bertanya.
“Tapi, saya bingung pak. Bagaimana bisa terjadi
bencana tadi pagi?” tanyaku spontan
“Oh, bencana tadi pagi terjadi karena adanya patahan
baru yang memanjang di sepanjang selat malaka. Patahan itu terjadi karena selat
malaka tak sanggup menahan tekanan dari tubrukan lempengan indo australia di
barat Sumatera sana. Dan akhirnya terjadilah patahan yang terangkat ke atas dan
mengakibatkan gempa dan tsunami seperti yg terjadi pagi tadi,” jawabnya
Aku hanya mengangguk.
“Dan tiba-tiba terjadi longsor bawah laut dari patahan
yang terangkat ke atas tadi, itulah sebabnya kenapa terjadi Tsunami dua kali,”
lanjutnya.
Sekali lagi aku
hanya menangguk. Aku sadar bahwa pesisir Timur Sumatera yang katanya
aman dari gempa, kini bisa terjadi hal semacam ini. Hal yang takkan terlupakan
dalam sejarah hidupku. Dan aku berharap semoga aku bisa bertemu kembali kepada
keluarga dan teman-temanku serta orang-orang yang aku kenal. Kukenang drama
tadi pagi. Sungguh menyeramkan.
#JurnalImajinasi
Posting Komentar