ARIANTOTLE
“Dimana aku?”
Kegelapan menyelimuti dan aku merasa melayang. Seberkas cahaya menimpaku dari satu titik. Suasana meremang dan terdapat jalan setapak putih yang menuju ke arahku. Jalan setapak itu penuh pecahan kaca dan duri-duri raksasa berdiri dengan kokohnya. Jantungku berdegup kencang lantas mataku tertutup.
Kegelapan pandanganku tergantikan dengan hamparan es sejauh mata memandang. Di atas sana, tirai aurora menari-nari berlatar bintang-bintang. Dua buah cahaya jingga dan putih menghampiriku lantas menjelma menjadi bayangan samar.

Bayangan itu mulai membentuk seseorang yang menyerupai diriku. Mereka berdua lantas berlari ke arahku.
“Ari, engkau akan menerima sesuatu yang penting,” ujar pria berkacamata seumuran denganku dengan mengenakan jaket berwarna hitam kemerahan. Dia adalah Arya.
“Benar, hal itu akan menjadikanmu mengerti mengapa kamu ada di dunia ini,” ujar pria berjaket putih dengan garis biru muda yang bersinar. Dia adalah Aris.
“Kemudian apa yang harus aku lakukan?” tanyaku kepada mereka.
“Kamu harus kembali ke sana,” ujar Aris.

Mereka segera menghilang perlahan. Butiran air melayang ke sekitarku. Butiran air itu segera berputar dengan cepat sehingga tercipta dinding cahaya yang sangat terang. Aku mencoba melindungi mataku.
“Aakkhh..” seketika mataku langsung terbuka.

Kudapati diriku berada di hamparan pasir putih yang ditumbuhi oleh pecahan kaca dan duri-duri. Aku melihat ke bawah. Kakiku terinjak pecahan kaca dan luka goresan itu terus melebar menjadi butiran tanah basah.

Kulemparkan kembali pandanganku ke depan. Sesosok kakek tua datang ke arahku. Kedua kakinya tidak menjejaki tanah. Ia mendekat dan mendekat hingga dapat kulihat keriput wajahnya dan luka-luka pada tangannya, wajahnya juga memar, tampak jelas bahwa kakek itu bersedih dengan air mata yang mengalir di kedua pipinya.

Ia berhenti di hadapanku dengan tetap melayang sambil memegang kedua belah tanganku.
Kakek itu mencoba menggerakkan bibirnya, namun setiap kali ia membukanya, ia terus menutupnya kembali seraya terisak-isak.
“Katakanlah apa yang ingin kakek katakan,” ujarku lembut.

Kakek itu mulai berbicara.
“Nak, sungguh, aku telah sangat tua, dan aku terus saja disiksa tanpa kasih. Perbuatan mereka membuatku sedih. Mereka seakan telah kehilangan jati diri mereka yang sebenarnya hingga tega membuatku seperti ini.”
Tangis kakek itu semakin pecah. Dapat kurasakan sakit dan kesedihan yang dialami kakek malang itu.
“Aku tak sanggup mengatakan kepada mereka, namun aku yakin engkau sanggup mengatakan kepada mereka, Nak. Jadikanlah mereka kembali kepada jati diri mereka.”
“Aku tidak yakin, Kakek. Aku hanyalah anak biasa. Aku bukan siapa-siapa,” ujarku.
“Engkau bisa, aku yakin. Dengan bantuan saudaramu, engkau beserta saudaramu pasti bisa. Karena jika tidak, aku akan semakin sengasara.”

Aku berpikir sejenak, aku tak yakin apakah aku sanggup mengatakan kepada yang dimaksud.
“Engkau memiliki apa yang seharusnya dimiliki, saudaramu juga memilikinya, kalian memiliki. Sadarkanlah mereka yang telah buram tentang apa yang harus dimiliki itu.”
“Memiliki apa, Kakek?”
“Engkau memiliki jati dirimu sebagai manusia. Sebagai hamba Allah SWT.”
Aku sedikit tersentak.
“Engkau memiliki pedoman, Al-Qur’an dan Hadits. Sadarkanlah mereka dengan itu, bawalah mereka kepada jalan yang benar, jalan yang diridhai Allah SWT.”

Aku sedikit kebingungan. Namun, dari tatapan kakek itu, ia pasti tahu bahwa aku kebingungan. Dengan senyum yang tulus dan air mata tetap mengalir di pipinya, ia mencoba berbicara kembali.
“Aku adalah bumi. Mereka, para manusia yang kehilangan jati dirinya sebagai khalifah di muka bumi telah membuatku tersiksa. Engkau dan saudaramu, umat muslim dapat memperbaikinya. Sadarkanlah mereka untuk dapat menunaikan tugas mereka sebagai khalifah, bukan sebagai perusak. Semoga Allah meridhai kebaikan kalian dan memberikan pahala kepada kalian. Lakukanlah, dengan pedoman Al-Qur’an dan Hadits. Dan ingat juga tugas kalian wahai umat manusia untuk beribadah kepada Allah SWT.”
Kakek tua itu tersenyum lalu menjadi cahaya yang transparan dan akhirnya menghilang.

“Kakek!” panggilanku terlambat.
Setengah tubuhku telah terurai menjadi tanah basah. Tiba-tiba uraian tanah basah tubuhku melayang di sekitar disusul tubuhku yang semakin cepat terurai. Butiran itu mengelilingiku kembali dengan cepat dan cahaya putih bersinar terang, tubuhku telah terurai hingga hidung dan aku tak melihat apa-apa.

Post a Comment