ARIANTOTLE
Bintang-bintang bertabur dengan indahnya. Di atas sana, menggantung bulan terbelah dengan belahan lain seakan menghilang entah kemana. Pepohonan bergoyang pada jarak 15 meter timur laut dari tempat aku berdiri. Hawa yang sejuk memaksaku untuk beradaptasi dalam cerahnya malam.

“Bintang, dalam selendang hitam yang terbentang, dan tarian ilalang, kusampaikan harapan yang kukarang.”

Senyum kecil menghiasi wajah sejenak, lalu aku berbalik badan dan kembali melangkah masuk ke rumah. Dinding ke abu-abuan dan keremangan menghiasi langkahku. Di hadapanku, pintu biru kecil setinggi tubuhku dalam keadaan setengah tertutup memintaku untuk masuk. Aku kembali melangkah.

Kasur jingga yang terhampar di atas ranjang berkaki empat setinggi setengah meter menarik mataku sejenak, lalu kulemparkan pandangan pada sebuah buku kuning kecil yang berada di atas meja di sampingku.

DIARYKU
Judul yang tercetak hijau dengan gambar abstrak bermakna harapan memunculkan persepsi di benak, “Mengapa buku diaryku berada di atas meja? Bukannya di dalam rak buku?”. Namun kulupakan pertanyaan itu dan kukembali bernostalgia. lantas kubuka buku itu di halaman pertama.

Senin, 13 April 2015
Seberkas kesedihan yang tertanam dalam hati kutuangkan padamu Diary. Harapan yang selalu kunanti bagai fatamorgana tatkala mendekat. Seliter keringat telah diperas, namun bara semangat tetap berapi. Kuharap hal itu akan terjadi.

Kubuka lembar demi lembar, hingga kutiba pada halaman yang penuh coretan abstrak yang menghiasi segala sisi kertas. Aku merasa aneh. Aku yakin, aku tidak pernah menulis tulisan ini. Kulirik tulisan mungil yang berada di sudut kanan atas kertas, “Terhampar dalam rasa hambar”.

Hiasan hiasan aneh bertema air mata terus saja terukir bahkan di sela-sela kalimat dan baris. Ada sedikit noda di sisi kiri kertas. Noda merah-hitam yang tampak melingkar-lingkar tak beraturan. Kusudahi menelaah dekorasi pada lembaran tersebut dan kumulai membaca.

Sudahilah Air Mata

Kelam..
Bagaikan malam...
Menghiasi qalbu laksana disulam
Pelangi seakan dituntut suram

Duhai jiwaku yang dibaluti sendu...
Janganlah engkau menyiksa diriku
Dalam kelam yang tiada kau mengaku
Bagai dirajam dengan pilu

Terngiang selalu dalam gaung yang kau kubur diriku bersama semaian rasa
Melemparkan tajamnya lisan yang kau belah harapku tanpa sisa
Ingatkah engkau dengan duri dan tetesan bisa?
Dahulu kau sunjamkan hingga jiwa raga ini tersiksa

Remang...
Dalam air mata terlarang..
Dan mata yang telah berang..
Dengan siksa sayup semayup panasnya arang

Arang perih yang mengalirkan air mata
Hingga terkuras sudah dalam tiap tetesan kata
Meninggalkan kesan di gurun sahara
Bersama merahnya pasir dan tetumbuhan lara

Dibawa angin perkara dan racun resah
Kau ciptakan sungai di pipiku beralirkan 00000

Ada noda merah hitam yang menutupi kata terakhir. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada huruf asing yang bertengger di bawah kertas. сетиап сурах ката терсимпан меморику . Aku segera menyadari bahwa itu adalah huruf cyrillic dan segera kubaca.

Bruuaakkk
Hembusan hebat melemparku menjauh ke belakang. Hadir di hadapanku pilar kebiruan yang berpangkal di buku Diary itu. Ada benda memanjang yang melintas spiral di pilar lalu benda seperti ular itu menuju ke arahku. Aku merapat ke dinding, namun benda tersebut berhasil mengelilingiku. Segera kusadari bahwa benda itu adalah rangkaian bait puisi tadi. Ular bait itu mengelilingku dengan cepat hingga seluruhnya berubah menjadi cahaya terang seterang-terangnya. Aku menutup mata, walau begitu, tampak cahaya merah memancar dalam lindungan kelopak mataku hingga semuanya meggelap.

Kubuka mataku sedikit demi sedikit dan aku berada di dalam kamar. Namun, ada yang aneh. Kasur yang berwarna jingga itu kini berwarna putih dengan lingkaran merah sebagai pelengkap artistiknya.

“Eh, siapa kamu?”
Tanyaku kaget. Pria sebaya denganku itu tetap terduduk seakan tidak menghiraukan pertanyaanku.
Suara isak tangis terdengar menggebu-gebu dari pria tersebut. Ada rasa empati yang tertanam dalam diriku hingga aku merasa iba. Aku melangkah mendekatinya dan memegang bahunya.
“Apa?”
Tanganku begitu saja melewati bahunya. Tidak tersentuh. Aku mencoba memegangnya, namun hasilnya hanya tanganku tembus pada tubuhnya.
“Apa yang terjadi padaku?”
Kubuang jauh-jauh pikiran itu dan kumelangkah mendekati meja. Ia sedang menulis sesuatu.
“Puisi itu?”
Aku hanya melihat ia menulis puisi itu dengan gemetar dan cucuran air mata membasahi ketas itu. Ia menghiasi kertas itu dengan ornamen kesedihan tatkala puisi itu telah di akhir kata.

“Kau ciptakan sungai di pipiku beralirkan darah?”
Sontak aku tercengang, lalu kata “Darah” itu tertutup oleh cairan merah. Jantungku terasa berdegup kencang. Aku maju sedikit dan membungkuk untuk melihat wajahnya yang ia tutupi dengan telapak tangan kirinya.
“Darah?”
Pipinya penuh dengan darah yang mengalir yang terlihat berhulu di mata yang ia sembunyikan. Dalam isak tangisnya, ia menarik telapak tangan kirinya menjauh dari wajahnya hingga tersingkaplah wajahnya.
“Apa? Aku?”
Pria yang di hadapanku ini adalah diriku sendiri, kusimpulkan dengan cepat. Diriku yang menangis darah itu lantas bangkit dan melangkah ke atas kasur. Ia merapat ke sudut ranjang lalu menatap lekat-lekat kedua belah tangannya. Tetesan air mata darah terus berjatuhan di kasur polos itu hingga menciptakan efek artistik. Kedua belah telapak tangannya kini penuh cairan merah.

“Tidak!”
Aku melihat ia menggumamkan sesuatu dengan raut wajah yang seketika berubah.
“Aku pasti bisa bangkit!” ujarnya.
Diriku itu melangkah mendekati lemari kecil di samping meja. Ia mengeluarkan sesuatu, barang elektronik rakitan yang berukuran 1 hasta. Ia meletakkannya di lantai, tepat di hadapanku berdiri.
“Aku akan meletakkan diaryku ini kepada diriku di masa lalu, agar ia tidak terjerumus dalam kesedihan yang mendalam. Ia harus selalu semangat!”

Dalam keadaan tertegun, aku terus melihat gerak-geriknya. Ia mengambil diary tadi dan meletakkan kedalam barang eletronik yang mirip dengan kardus masa depan itu.
“Aku harus berubah menjadi lebih baik!”
Ia menekan sesuatu hingga suatu benda yang berbentuk seperti teleskop mengeluarkan cahaya kebiruan disusul dengan garis-garis yang melingkupi segala sisi buku itu. Garis-garis kebiruan itu menjalar seakan menggerogoti buku hingga buku itu hilang.

Diriku itu mencoba berdiri lalu ia melihat ke arah jendela yang terbuka, bulan purnama bersinar di sana.
“Aku pasti bisa!” teriaknya menggelora

Mendadak di sekelilingku meleleh bagai kertas yang dikelupas dari dinding hingga aku berada di dalam negeri putih polos. Sedikit demi sedikit muncul warna-warni yang tersusun bagai puzzle. Dengan delta waktu sama dengan 15 sekon menurutku, seluruhnya tersusun sempurna. Aku kembali berada di kamarku. Di atas meja, aku melihat buku kekuningan itu lekat-lekat.

“Benar! aku pasti bisa! aku akan terus semangat!”

Post a Comment