“Bintang, dalam selendang hitam yang terbentang,
dan tarian ilalang, kusampaikan harapan yang kukarang.”
Senyum kecil menghiasi wajah sejenak, lalu aku
berbalik badan dan kembali melangkah masuk ke rumah. Dinding ke abu-abuan dan
keremangan menghiasi langkahku. Di hadapanku, pintu biru kecil setinggi tubuhku
dalam keadaan setengah tertutup memintaku untuk masuk. Aku kembali melangkah.
Kasur jingga yang terhampar di atas ranjang berkaki
empat setinggi setengah meter menarik mataku sejenak, lalu kulemparkan
pandangan pada sebuah buku kuning kecil yang berada di atas meja di sampingku.
DIARYKU
Judul yang tercetak hijau dengan gambar abstrak
bermakna harapan memunculkan persepsi di benak, “Mengapa buku diaryku berada
di atas meja? Bukannya di dalam rak buku?”. Namun kulupakan pertanyaan itu
dan kukembali bernostalgia. lantas kubuka buku itu di halaman pertama.
Senin, 13 April 2015
Seberkas kesedihan yang tertanam dalam hati kutuangkan padamu
Diary. Harapan yang selalu kunanti bagai fatamorgana tatkala mendekat. Seliter
keringat telah diperas, namun bara semangat tetap berapi. Kuharap hal itu akan
terjadi.
Kubuka lembar demi lembar, hingga kutiba pada
halaman yang penuh coretan abstrak yang menghiasi segala sisi kertas. Aku merasa
aneh. Aku yakin, aku tidak pernah menulis tulisan ini. Kulirik tulisan mungil
yang berada di sudut kanan atas kertas, “Terhampar dalam rasa hambar”.
Hiasan hiasan aneh bertema air mata terus saja
terukir bahkan di sela-sela kalimat dan baris. Ada sedikit noda di sisi kiri
kertas. Noda merah-hitam yang tampak melingkar-lingkar tak beraturan. Kusudahi
menelaah dekorasi pada lembaran tersebut dan kumulai membaca.
Sudahilah
Air Mata
Kelam..
Bagaikan malam...
Menghiasi qalbu laksana disulam
Pelangi seakan dituntut suram
Duhai jiwaku yang dibaluti sendu...
Janganlah engkau menyiksa diriku
Dalam kelam yang tiada kau mengaku
Bagai dirajam dengan pilu
Terngiang selalu dalam gaung yang kau kubur diriku bersama semaian rasa
Melemparkan tajamnya lisan yang kau belah harapku tanpa sisa
Ingatkah engkau dengan duri dan tetesan bisa?
Dahulu kau sunjamkan hingga jiwa raga ini tersiksa
Remang...
Dalam air mata terlarang..
Dan mata yang telah berang..
Dengan siksa sayup semayup panasnya arang
Arang perih yang mengalirkan air mata
Hingga terkuras sudah dalam tiap tetesan kata
Meninggalkan kesan di gurun sahara
Bersama merahnya pasir dan tetumbuhan lara
Dibawa angin perkara dan racun resah
Kau ciptakan sungai di pipiku beralirkan 00000
Ada noda merah hitam yang menutupi kata terakhir.
Tiba-tiba pandanganku tertuju pada huruf asing yang bertengger di bawah kertas.
сетиап сурах ката терсимпан меморику . Aku segera menyadari bahwa itu adalah
huruf cyrillic dan segera kubaca.
Bruuaakkk
Hembusan hebat melemparku menjauh ke belakang. Hadir
di hadapanku pilar kebiruan yang berpangkal di buku Diary itu. Ada benda
memanjang yang melintas spiral di pilar lalu benda seperti ular itu menuju ke
arahku. Aku merapat ke dinding, namun benda tersebut berhasil mengelilingiku. Segera
kusadari bahwa benda itu adalah rangkaian bait puisi tadi. Ular bait itu
mengelilingku dengan cepat hingga seluruhnya berubah menjadi cahaya terang
seterang-terangnya. Aku menutup mata, walau begitu, tampak cahaya merah
memancar dalam lindungan kelopak mataku hingga semuanya meggelap.
Kubuka mataku sedikit demi sedikit dan aku berada di
dalam kamar. Namun, ada yang aneh. Kasur yang berwarna jingga itu kini berwarna
putih dengan lingkaran merah sebagai pelengkap artistiknya.
“Eh, siapa kamu?”
Tanyaku kaget. Pria sebaya denganku itu tetap
terduduk seakan tidak menghiraukan pertanyaanku.
Suara isak tangis terdengar menggebu-gebu dari pria
tersebut. Ada rasa empati yang tertanam dalam diriku hingga aku merasa iba. Aku
melangkah mendekatinya dan memegang bahunya.
“Apa?”
Tanganku begitu saja melewati bahunya. Tidak
tersentuh. Aku mencoba memegangnya, namun hasilnya hanya tanganku tembus pada
tubuhnya.
“Apa yang terjadi padaku?”
Kubuang jauh-jauh pikiran itu dan kumelangkah
mendekati meja. Ia sedang menulis sesuatu.
“Puisi itu?”
Aku hanya melihat ia menulis puisi itu dengan
gemetar dan cucuran air mata membasahi ketas itu. Ia menghiasi kertas itu
dengan ornamen kesedihan tatkala puisi itu telah di akhir kata.
“Kau ciptakan sungai di pipiku beralirkan darah?”
Sontak aku tercengang, lalu kata “Darah” itu
tertutup oleh cairan merah. Jantungku terasa berdegup kencang. Aku maju sedikit
dan membungkuk untuk melihat wajahnya yang ia tutupi dengan telapak tangan
kirinya.
“Darah?”
Pipinya penuh dengan darah yang mengalir yang
terlihat berhulu di mata yang ia sembunyikan. Dalam isak tangisnya, ia menarik
telapak tangan kirinya menjauh dari wajahnya hingga tersingkaplah wajahnya.
“Apa? Aku?”
Pria yang di hadapanku ini adalah diriku sendiri,
kusimpulkan dengan cepat. Diriku yang menangis darah itu lantas bangkit dan
melangkah ke atas kasur. Ia merapat ke sudut ranjang lalu menatap lekat-lekat
kedua belah tangannya. Tetesan air mata darah terus berjatuhan di kasur polos
itu hingga menciptakan efek artistik. Kedua belah telapak tangannya kini penuh
cairan merah.
“Tidak!”
Aku melihat ia menggumamkan sesuatu dengan raut
wajah yang seketika berubah.
“Aku pasti bisa bangkit!” ujarnya.
Diriku itu melangkah mendekati lemari kecil di
samping meja. Ia mengeluarkan sesuatu, barang elektronik rakitan yang berukuran
1 hasta. Ia meletakkannya di lantai, tepat di hadapanku berdiri.
“Aku akan meletakkan diaryku ini kepada diriku di
masa lalu, agar ia tidak terjerumus dalam kesedihan yang mendalam. Ia harus
selalu semangat!”
Dalam keadaan tertegun, aku terus melihat
gerak-geriknya. Ia mengambil diary tadi dan meletakkan kedalam barang eletronik
yang mirip dengan kardus masa depan itu.
“Aku harus berubah menjadi lebih baik!”
Ia menekan sesuatu hingga suatu benda yang berbentuk
seperti teleskop mengeluarkan cahaya kebiruan disusul dengan garis-garis yang
melingkupi segala sisi buku itu. Garis-garis kebiruan itu menjalar seakan menggerogoti
buku hingga buku itu hilang.
Diriku itu mencoba berdiri lalu ia melihat ke arah
jendela yang terbuka, bulan purnama bersinar di sana.
“Aku pasti bisa!” teriaknya menggelora
Mendadak di sekelilingku meleleh bagai kertas yang
dikelupas dari dinding hingga aku berada di dalam negeri putih polos. Sedikit
demi sedikit muncul warna-warni yang tersusun bagai puzzle. Dengan delta waktu
sama dengan 15 sekon menurutku, seluruhnya tersusun sempurna. Aku kembali
berada di kamarku. Di atas meja, aku melihat buku kekuningan itu lekat-lekat.
“Benar! aku pasti bisa! aku akan terus semangat!”
Posting Komentar