Jalanan sepi dan gelap. Aku bersama temanku, Aufa
dan 2 orang lainnya berjalan menyusuri batang pipa besar biru yang terhampar
sepanjang bahu jalan. Namun ada keanehan pada diriku, tubuhku melayang, sehingga
aku harus memegang pipa untuk menggeser tubuhku dan tidak demikian yang terjadi
pada temanku.
“Apa ini?” tanya Aufa.
Aku melayangkan diriku mendekat padanya. Aku melihat
sebuah buku tulis bersampul batik tertempel di batang pipa. Buku itu tertempel
oleh sesuatu yang lengket, berlendir, dan bau.
“Coba kulihat,” ujarku.
Aku mengambil buku itu dan dapat kulihat nama yang
tertera di sana. Namaku.
“Baunya agak lain,” ujar Aufa.
“Sebaiknya kita
letakkan kembali,” jawabku sembari melekatkan kembali ke pipa.
Aku dan temanku melanjutkan perjalanan hingga hadir
sungai membentang di hadapan. Dengan segera aku melayang menyeberanginya.
Temanku yang lain menggunakan sampan yang ada di sana.
Aufa telah sampai dan seorang lagi juga sampai.
“Sepertinya ada yang tertinggal,” ujarku.
Dalam gemerisik dedaunan, tampak wanita yang
mendayung sampan dan segera ia merapat dan turun.
“Ari! merunduk! hati-hati” Aufa memekik rendah.
Ketiga temanku merunduk. Aku ikut merunduk, namun
tidak di tempat yang sama dengan mereka. Aku merunduk di belakang pohon kelapa
dan tertutup semak belukar.
Aku mendengar ada yang datang. Dari arah jalan, aku
dapat melihat makhluk aneh yang menyerupai hybrid antara babi dan anjing. Aku
sedikit terkejut. Ia datang mendekat ke tempatku , sepertinya ia telah
mengetahui bahwa aku berada di balik pohon kelapa ini.
“Apa yang engkau inginkan!” teriakku.
Makhluk itu tidak menjawab.
“Engkau tak akan bisa melakukan apa-apa kepadaku dan
teman-temanku!” teriakku kembali.
Makhluk itu mendekat ke kakiku. Aku segera mundur
perlahan, namun di belakangku ada sungai yang terbentang. Aku melirik ke arah
persembunyian teman-temanku. Mereka melihat ke arahku.
“Lari!” teriakku.
Teman-temanku langsung keluar dan berlari menjauh
mengikuti kodeku, aku segera berlari parabola melewati pohon kelapa dan melaju
membelah jalanan yang sepi. Aku tidak tahu di mana aku menuju. Batinku terus
mendorongku untuk berlari.
Fajar menyingsing, aku menemukan rumah asing berwarna
kuning dan terlihat wanita di lorong samping rumah tersebut. Sepertinya ia tahu
aku sedang menghindari sesuatu. Ia langsung saja menyuruhku untuk masuk.
Aku melangkah dalam kelelahan ke dalam rumah itu.
Wanita itu menyuruhku bersembunyi dalam suatu ruangan aneh kemudian ia pergi
keluar. Di salah satu dinding ruangan ini terukir benda-benda tajam. Di
hadapanku ada mobil rongsokan. Untuk melepas lelah, aku duduk di kursi kayu
yang terletak tidak jauh dariku.
Krting...Krting...
Telingaku menangkap suara aneh. Suara hantaman besi
dan besi. Aku melirik ke sana kemari.
“Hah?”
Aku melihat dinding dengan ukiran benda-benda tajam
itu bergerak. Gunting yang terukir di situ mulai membuka tutup dan pisau-pisau
bergerak ke sana sini.
Mobil rongsokan yang berada di sampingku bergeser
mendekat ke arah dinding. Langsung saja mobil itu terpotong-potong dan hancur
sedemikian rupa. Dinding itu mulai menarik segala benda logam lainnya.
Entah mengapa aku merasa sangat panik bercampur
benci. Aku segera mengambil kursi kayu yang kududuki tadi dan menghantamkan ke
dinding. Tanpa diduga, tercipta pecahan kaca tepat di depan dinding itu. Aku pun
memukul ke sana sini benda benda tajam itu hingga semuanya saling terlepas.
Sebuah cahaya dari lampu kecil yang berkedip merah
dan padam di atas dinding itu juga terlepas dan padam seutuhnya. Di balik benda
benda tajam itu, terdapat terowongan yang tegak lurus dengan sudut pandangku
dan terdengar suara yang mendekat.
“Apa yang terjadi?” tanya wanita tadi.
Belum sempat aku menjawab, ia lantas melanjutkan “lebih
baik kamu segera pergi. Akan ada sesuatu yang mengincar kamu!”
Aku yakin akan ada masalah yang menimpaku. Aku
segera berlari keluar rumah itu dan berbelok ke arah kanan. Aku terus saja
berlari hingga melewati jembatan. Tepat di puncak jembatan, di ujung sana aku
melihat makhluk besar bertubuh kekuningan dan terlihat gemuk dengan separuh
badan tertutup tetumbuhan mendekat ke arahku.
“Oh tidak!”
Aku segera berlari turun dan belok ke arah kiri, ke
sebuah gang selebar 3 meter untuk menjauh dari makhluk itu. Aku kembali
membelok ke arah kiri dan menyelinap ke dalam ilalang yang luas dan tinggi. Aku
merasa ada yang mengejar ke arahku. Aku berjalan di sela-sela ilalang hingga
aku menemukan gang kecil dan kembali bersembunyi di balik pohon. Aku berpindah
pindah dari satu pohon ke pohon yang lain dengan waspada.
Aku panik dan kebingungan, namun aku terus
bersembunyi, menyelinap, dan menjauh. Kemudian berpindah pindah dari balik
dinding suatu rumah ke dinding rumah yang lain. Aku melangkah mendekat ke
jalanan. Jalanan sepi, lurus dan panjang serta membukit lembah.
“Jika aku berjalan di sini, pasti mereka yang ada di
ujung jalan sana akan melihatku,” ujarku dalam hati.
Aku melangkah di tepi jalan dalam gemetar hingga aku
tiba di pertigaan jalan. Di simpang kananku, terlihat gerbang yang terbuka
menuju ke sebuah pabrik yang telah tua. Di simpang kiriku, terlihat pepohonan
dan dinding.
Aku melangkah ke depan, tepat ke sebuah kedai kayu.
Terlihat bapak-bapak chinese sedang duduk di depan kedai itu.
“Permisi pak, ini di mana ya?”
“Ini di kampung gemilang,” jawab bapak itu.
“Oohh, terima kasih ya pak,” ucapku.
Aku melihat nenek-nenek chinese tersenyum padaku
dari dalam kedai. Aku membalas senyum nenek itu lalu melangkah di balik kedai
kayu. Aku bersembunyi sekaligus melepas lelah. Kedai kayu ini bagaikan benteng
bagiku, karena letaknya yang strategis tepat menghadap jalanan yang lurus di
sana.
Matahari bersinar keemasan di langit, namun tidak
panas. Tiba-tiba terdengar langkah keramaian yang mendekat membuat jantungku
berdegup kencang. Aku mencoba mengintip ke jalanan. Tampak anak-anak berpakaian
biru, remaja, dan orang dewasa membawa payung dan balon keemasan.
Langit menggelap tiba-tiba, hujan pun turun.
Kerumunan manusia itu berbahagia. Aku hanya melihat mereka dari balik kedai
kayu ini. Tampak olehku apa yang mereka perbuat. Anak-anak mengusap wajah
mereka dengan air hujan yang mengalir di balon emas, begitu juga yang lainnya.
Waktu terus berlalu dan langit kembali keemasan. Aku
mendengar riuh keramaian memudar. Ternyata mereka semua telah pergi. Aku
melangkah ke depan.
“Pak, tadi itu ada acara apa ya?” tanyaku pada
bapak-bapak chinese.
“Oh, tadi itu Perayaan Hujan,” jawabnya.
Aku hanya mengangguk ringan.
Suasana sunyi dan damai
membuatku ingin melangkah ke arah pepohonan. Aku melangkah menyusuri pepohonan
yang hijau bersinar cemerlang hingga aku tiba di dekat dinding.
“Apa itu?”
Aku melihat ada yang bergerak gerak di dinding. Aku pun
segera mendekat.
“Eh?”
Di sebuah pohon tidak jauh dari tempatku berdiri, tampak
2 orang wanita cantik jelita dengan pakaian warna-warni duduk berdampingan,
namun aku kembali melihat ke benda bergerak-gerak di hadapanku.
“Kaki kuda?”
Benda itu tertarik menjauh dan tampaklah lubang
persegi panjang di dinding. Aku mencoba mengintip dari lubang itu. Betapa
terkejutnya aku ketika melihat sepasukan centaurus di depan sana. Tidak jauh dari
pasukan centaurus itu tampak makhluk besar tinggi dan dari rupanya dapat
diketahui bahwa ia bukanlah makhluk baik. Dari bentuk tubuhnya, ia tidak tampak
seperti manusia sempurna, juga buruk rupa dengan struktur tubuh yang aneh.
“Apa itu memang centaurus?” tanyaku pada wanita yang
duduk di dekat pepohonan itu.
“Benar,” jawab mereka.
“Apa yang mereka lakukan di sana?”
“Mereka ingin menyerang negeri ini, namun dinding
ini menahan mereka.”
“Sepertinya kamu kehausan,” ujar salah satu wanita.
“Mia! tolong ambilkan minuman untuknya,” teriak
wanita itu dengan lembut.
Tanpa sengaja aku berbalik badan dan tanpa sengaja
juga hadir wanita sebaya denganku di hadapanku. Wanita itu bewajah cantik
jelita dengan jilbab hitam yang menutupi auratnya. Ia memberikan kepadaku
segelas air dan segelas susu dengan tutur kata ramah, sopan, dan lembut.
“Terima kasih,” ujarku.
Ia pun melangkah pergi. Aku kembali melangkah
mendekati gerbang pabrik tua sambil meminum minumanku dan melirik ke kanan
kiri. Tiba-tiba aku melihat segerombolan orang dari jalanan lurus yang datang
ke arahku dan dengan cepat membuatku terkejut dan lemas.
Nenek chinese, bapak chinese, dan keluarga mereka
segera berjajar di hadapan kedai kayu. Aku berjalan ke arah mereka dan mereka
mencoba membuatku tetap berada di belakang mereka dengan upaya menyelamatkanku.
Ternyata segerombolan orang yang datang itu adalah
orang tuaku dan tetanggaku yang datang untuk mencariku. Namun, tetap saja aku
tidak percaya sepenuhnya karena aku curiga bahwa mereka adalah makhluk yang
ingin menangkapku dan membunuhku dengan menyamar menjadi orang yang aku kenal.
Setelah diadakan perbincangan yang cukup panjang,
aku dan keluarga nenek chinese tadi mulai percaya. Seluruh penduduk yang berada
di sekitar kampung gemilang keluar dan mendekat ke arahku. Mereka mengadakan
upacara perpisahan untukku.
Salah seorang pria chinese yang seumuran denganku
datang mendekat.
“Hi, i’m so glad to meet you,” ujarku.
Ia hanya tersenyum. Dari atas gedung yang tidak jauh
dariku, tampak anak-anak yang melambaikan tangannya ke arahku.
Aku melangkah ke arah seorang wanita. Aku mencoba
untuk meminta nomor HPnya agar aku bisa bertukar kabar untuk penduduk di sini.
“Satu tiga lima,” ujarnya sambil melihat ke arah Hpnya.
“Maaf, apa tadi?” tanyaku.
“Satu tiga lima..”
“Hmm...bisa kulihat nomornya?” tanyaku bingung
karena setahu aku, nomor HP dimulai dari 08 atau juga +628
13503
“Benar, memang berawal 135,” batinku.
“Terima kasih, aku akan menghubungimu kapan-kapan,”
ujarku dengan senyuman.
Segalanya segera memudar.
Posting Komentar