ARIANTOTLE



-Ari’s View-

A’udzubikalimatillahittammati min syarri maa khalaq
Tubuh masih panas dingin. Sulit didekripsikan. Bukan panas dingin dalam artian meriang, melainkan panas yang terasa lepas dari tubuh, yang menjalar dari atas hingga ke bawah. Kedutan di beberapa bagian tubuhku juga masih terasa.

Sepatuku telah bersua dengan rerumputan kampusku. Kubiarkan kakiku membawanya untuk bersalaman dengan jengkal-jengkal tanah, sementara itu aku kalut dan larut dalam benakku sendiri. Aku mencoba mengontrol emosiku yang seakan-akan ditarik-ulur oleh sesuatu yang ada dalam diriku.

Setiap kutemui temanku, entah mengapa ada rasa marah dalam diriku. Bukan! Bukan aku! Aku bukanlah tipe orang pemarah jikalau bukan karena hal yang sepatutnya dimarahi. Marahku juga bukan marah meluap melainkan marah tergenang. Aku bisa merasakan ada dua sisi dalam diriku, sisi yang bisa kurasakan sebagai sisi yang terus bergantung kepada Allah, dan sisi yang marah, sisi yang terus menahanku tiap kuingin melangkahkan kaki menuju kepada yang haq. Bahkan, aku pernah mendapatkan bayangan batin bahwa diriku sedang dirantai di tempat yang remang, di sekitarku banyak makhluk aneh, namun disekitarku pula ada dinding cahaya yang menghadang makhluk itu mendekati aku.
.
.
.
[A Day Later]
“Ri, antum ada buka pagar pas subuh tadi?” tanya lelaki sebaya denganku yang duduk di atas kasur.
Lantas kukernyitkan dahi dan memaksa ingatanku kembali. Tak ada tanda-tanda ingatan bahwa aku membuka pagar tadi pagi.
“Tidak ada zik. Emang kenapa?”
Kubertanya dengan selipan penasaran pada Zikri, teman kosku. Aku sedang bertandang ke kamarnya karena Fredi belum pulang.
“Tadi pagi aku dengar ada yang buka pagar jam 4 pagi!”
“Jam 4 pagi?”
“Iya!”
“Siapa yang keluar pagar sebelum waktu subuh?”
“Nggak tau, aku dengar ada yang buka pagar, mana tau kan kalian yang keluar, soalnya kunci pagar kan cuma ada sama aku dan sama Fredi.”
“Oh, kami gak ada keluar pagi tadi.”
“Jadi, siapa ya?”
Penasaranku berbaur bersama penasaran zikri.

Tap..tap...tap...
Aku mendengar langkah kaki di tangga berpadu bersama suara jangkrik yang samar-samar. Familiar sekali nada-nadanya hingga aku tahu bahwa itu langkah kaki Fredi. Segera kulempar pandangan ke arah kamar kosku. Benar saja! Fredi sedang membuka pintu.
“Ok, zik, syukran ya udah bolehin numpang bentar disini.”
“Ok, sip”
Aku pun bangkit dan menyalami Zikri lalu melangkah ke depan pintu. Sedetik kemudian, kuberbalik badan ke arah Zikri.
“Oh iya, kalau ada kabar-kabar baru, ceritakan ya.”
“Ok.”

Di depan pintu, kubiarkan kakiku menelusuri liang sendal hingga ia dapat masuk. Dengan sigap, aku melangkah cepat ke kamar kosku dan kulepaskan kakiku dari sendalku meski ia mungkin tak ingin berpisah. Sebenarnya, kalau aku tidak pakai sendal pun tidak masalah, karena lantainya lantai keramik dan jarak kamarku ke kamar Zikri sekitar 7 langkah namun beda benua. Aku di benua kiri tangga dan Zikri ada di benua kanan tangga.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Dari mana Fred? lama kali pulangnya sampai malam.”
“Dari kerjain tugas sama teman.”
“Oohh.”

Percakapan kami berhenti sejenak sampai disitu. Aku pun mengambil HP dan mengecek chat-chat yang masuk. Di grup AGT-A, teman-temanku sedang asyik mengobrol mengenai berbagai hal, sementara di grup lainnya juga sedang asyik berbincang ria. Selain itu, ada juga grup sharing materi Islami yang memberikan artikel Islami yang sangat senang kubaca. Aku pun membaca Artkel itu.
“Ri.”
Pupil mataku bergeser mengikuti pergeseran bola mataku ke arah Fredi dengan cepat.
“Apa?”
“Kau masih ada merasa aneh-aneh lagi?”
“Ada sih sebenarnya, tapi...yaudah biarin aja. Kenapa?”
“Gak ada sih.”
“Oh iya, ada kabar terbaru tentang kos kita. Ternyata Zikri juga merasakan keanehan.”
“Iya? Apa katanya?”
“Dia bilang kalau dia dengar ada orang buka pagar tadi pagi di kos kita. Fredi ada keluar kos tadi pagi?”
“Eh, gak ada doh aku keluar.”
“Berarti..siapa ya?”
“Hmmm..oh iya, ada cerita juga dari Ihsan.”
“Apa?” tanyaku penasaran. Sembari bertanya, mataku menatap sejenak ke layar HPku, sejenak kemudian kupandang Fredi kembali.
“Dia ada lihat perempuan naik ke tangga malam-malam sekitar jam 11-an. Kau tau kan kamar Ihsan yang di bawah? Dia nampak loh ri...Merinding aku.”
Fredi tampak gemetaran dengan apa yang diucapkannya sendiri.
“Oohh. Berarti memang bukan kita aja yang merasakan ya. Dari teman yang lain ada merasakan juga gak?”
“Nggak tau aku.”

Dengan menghela nafas, kuletakkan HPku dan lanjut berdiri. Selangkah maju aku pun mengambil kertas-kertas dan alat tulis dari tasku untuk mengerjakan laporan.
Penceritaan mengenai mistis di kosku berhenti sampai disitu. Fredi kembali berbaring dan memainkan HPnya. Sementara aku mengambil bantal dan kuletakkan dipangkuanku.

Astaghfirullah
Pandanganku tiba-tiba gelap. Kupandang ke kiri, ada cahaya wajah Fredi. Maksudnya cahaya HP yang terpantul ke wajah Fredi hingga yang kulihat hanya wajah Fredi.
“Mati lampu semua ni Fred?”
“Iya kayaknya.”
“Yahh, gimana mau ngerjain laporan ni?”
Aku pun mengambil bantal di pangkuanku dan kuletakkan di lantai. Selepas itu kuletakkan pula kepalaku di atas bantal, alhasil aku tertidur.

***

“Fred!! Kita harus ke sana!”
Aku dan Fredi berada di tempat yang aneh bernuansa gelap. Aku merasa berada di dunia serba remang dengan lantai berwarna merah gelap. Di hadapanku ada gerombolan orang yang tampak berdiskusi. Aku tahu apa yang mereka diskusikan. Mereka berdiskusi mengenai akan datangnya gerombolan orang ramai yang akan membantai dengan ganas.
Aku segera berlari menyusul Fredi. Tampak kota tempat aku terdampar ini seperti kota yang baru saja dilanda musibah. Banyak genangan air dan puing-puing berserakan.
Jalanan tempat kami berlari ini tampak menggambarkan bahwa sebelumnya ada badai dahsyat yang baru saja menghantam. Tiba-tiba, aku mendengar suara keramaian di kejauhan. Aku dan Fredi berhenti sejenak. Kupandang lekat-lekat di kejauhan itu dan kudapati ramai orang seperti melingkari sesuatu.
“Kita harus lari dari sini Fred.”
Kami pun kembali berlari. Nun kejauhan kami mendengar seperti gelombang massa yang akan datang.

Mataku terbelalak dan kudapati diriku terbaring menghadap langit-langit.
“Hanya mimpi”
Aku pun terbangun dan ternyata sudah masuk waktu Subuh. Aku pun segera bangun untuk shalat Subuh dan kemudian membangunan Fredi untuk shalat Subuh juga. Selepas shalat Subuh, kami duduk di posisi yang sama seperti tadi malam.
“Ri, kau dengar gak tadi malam?”
“Tadi malam?”
“Iya, pas mati lampu tadi malam. Di depan sana kan ada kossan cewek. Nah, di sana tu ada kakak-kakak, dia dengar seperti ada orang yang mukul tiang listrik pakai besi.”
“Mungkin orang ronda gak?”
“Nggak loh.”
“Lah, kenapa?”
“Soalnya, kakak-kakak tu dah minta sama bapak kosnya buat liatin, tapi gak ada orang.”
Masih menyisakan tanda tanya dibenakku. Namun, tetap aku harus ber-positive thinking.

***

Suara hujan yang menyentuh bumi sangat bermelodi di telingaku. Suara titisan langit yang menyentuh dedaunan, tanah, atap mushollah, dan berbagai tempat seakan-akan memanggil kembali memoriku tentang kampung. Kulempar pandangan keluar mushollah As-Siraj ini. Memang mushollah ini didesain dengan tidak memiliki dinding samping dan belakang, sehingga langsung terhubung ke dunia luar.

Aku baru saja selesai shalat Maghrib dengan teman-temanku, Oka, Fikri, Andi, dan Jasriman. Kami berencana ingin belajar bersama untuk persiapan UTS Matematika di rumah Fikri. Tiba-tiba ada perasaan aneh yang merasuk ke dalam jiwaku seakan-akan ada yang menyuruhku untuk tidak ikut ke rumah Fikri atau..untuk mengundur waktu beberapa saat ke rumah Fikri. Namun, entah mengapa aku juga memang ada rencana untuk pulang ke kos untuk mengganti pakaian, karena aku, Fikri, dan Jasriman baru saja matrikulasi tadi sore. Akan tetapi, saat aku mengutarakan kepada Oka bahwa aku ingin pulang ke kos sebentar untuk ganti pakaian, Oka tidak mau. Dia berdalih bahwa ia malas untuk mutar-mutar dan bensinnya juga sedikit. Ya...bagaimana pun tidak mungkin aku memaksa karena aku pun hanya berkedudukan sebagai penumpang. Dan di bawah guyuran gerimis hujan, kami pun berangkat.

Aku berada di antara Oka dan Jasriman di motor Oka. Dengan menyusuri jalanan yang basah, dapat kurasakan hawa panas yang dilepas aspal menerpa kakiku. Selain itu, dapat kucium aroma alam yang dilepas hujan dan dedaunan. Kondisi sekitar yang lumayan remang dengan terpaan angin malam membuatku sedikit mengantuk. Di sisi kiri jalan ada hutan. Mataku seakan-akan terpaku ke sana sehingga membuyarkan kantukku. Aku merasakan ada sesuatu yang banyak di dalam sana. Aku juga merasakan seperti ada yang melihat kami dari dalam hutan. Tak berselang lama, kini aku merasakan seperti ada sesuatu yang melayang mengikuti kami dari belakang. Aku pun membaca do’a dalam hati dan memohon perlindungan Allah. Alhamdulillah kami sampai di rumah Fikri dengan selamat.

Kujatuhkan kakiku ke aspal dan mencoba tegak berdiri, lalu kulewati pagar dan berdiri di depan rumah Fikri. Entah mengapa, tiba-tiba aku merasakan pandanganku tertimpa dengan pandangan abstrak, seperti di suatu bangunan yang telah lama tidak ditinggali dan kondisi pencahayaan yang remang-remang. Sekaligus di saat itu juga tubuhku terasa bergetar, aku pun mencoba untuk duduk sejenak di teras. Kupejamkan mata dan yang kulihat masih dalam kondisi yang sama, kulihat seperti berada di bangunan usang. Kembali kubuka mataku, dapat kulihat teman-temanku melangkah masuk pagar.
“Kenapa Ri?”
“Nggak apa-apa.”
“Oohh, masuklah.”
“Iya, duluan aja.”
Teman-temanku pun masuk ke dalam rumah, sementara aku masih mencoba menenangkan diri. Aku kembali menutup mata dan kini aku melihat seseorang seperti membawa lentera, seseorang itu tampak seperti Fikri yang sedang berjalan seperti mencari sesuatu di dalam ruangan usang. Di belakang Fikri, aku melihat lemari yang tidak terlalu usang, tapi di belakang lemari itu aku melihat semacam penampakan aneh. Aku segera membuka mata dan beristighfar memohon ampun dan perlindungan kepada Allah. Aku pun segera berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumah.

Beberapa saat berselang, ada nomor HP masuk ke dalam HPku. Kulihat, ternyata itu nomor Ibuku. Aku pun segera mengangkatnya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Dah makan, nak?”
“Iya, dah nganre tadi.” (Iya, sudah makan tadi)
“Di mana sekarang?”
“Di rumah kawan, belajar-a.” (Di rumah kawan, lagi belajar)
“Oohh, surangi nai?lohe tau rinjo?” (Oohh, sama siapa? banyak orang di situ?)
“Iya, lohe.” (Iya, banyak.)
“Surangi nai tadi lampa?” (Dengan siapa tadi pergi?)
“Sama kawan.”
“Hmm..masih diganggu?”
Aku sedikit terdiam sejenak. Memang sebenarnya aku sudah ceritakan pengalaman mistisku kepada orang tuaku di Dumai sebelumnya. Keluargaku cuma berpesan agar aku senantiasa ngura’-ngurangngi (ingat-ingat), yaitu ingat Allah a.k.a senantiasa berdzikir dan beristighfar serta mengaji.
“Masih agak-agak, ma.”
Setelah itu, Ibuku berpesan dengan inti pesan yang sama dengan sebelumnya. Agak beberapa lama, akhirnya kami pun selesai menelpon.

Sekitar pukul 10 malam lebih, kami pun mengakhiri belajar bersama kami dan kembali ke kos masing-masing. Aku pulang dengan menumpang dengan Oka.
Selama perjalanan, entah mengapa aku merasakan dorongan untuk merebah di atas motor itu alias menjatuhkan diriku ke belakang. Walau begitu, aku tidak menghiraukannya dan terus memohon perlindungan kepada Allah hingga aku pun sampai di kos.

***

“Ri, aku mau cerita lah.”
Sore hari ini aku pulang lumayan cepat ke kos, karena memang aku pun merasakan ada dorongan agar aku pulang ke kos lebih awal. Dan ketika aku sampai di kos, aku langsung disambut dengan kalimat itu.
“Cerita apa lagi?”
“Tadi malam kau ada telpon sama mama kau?”
“Ada, pas di rumah kawan. Kenapa?”
“Eh bukan itu, maksudnya di kos kita.”
“Oohh, nggak ada. Kenapa?”
“Tadi malam pas aku tidur, aku terasa ada yang narik rambut aku loh ri. Terus aku dengar kau lagi nelpon sama mama kau. Serius ri, aku gak bohong. Aku terasa sadar waktu dengar kau lagi nelpon sama mama kau, pas aku lihat, kau lagi tidur.”
“Astaghfirullah, mari kita banyak-banyak memohon perlindungan kepada Allah.”
Hingga malam hari, kami masih bercerita walaupun tidak secara kontinu dan topiknya berpindah-pindah.

Selepas shalat Isya, aku dan Fredi pun pulang dari Masjid Al-Ma’arij. Di perjalanan, aku dihibur dengan nyanyian jangkrik dan deru mesin motor Fredi. Mataku pun menelusuri langit yang lumayan berawan, namun masih menyisakan ruang untuk bulan menggantung. Kupandang lekat-lekat bulan yang sedang tersenyum itu. Kupandang lekat-lekat bukan karena aku terkagum karenanya, melainkan aku terkaget dan tersadar bahwa itu adalah bulan purnama. Aku ingat betul, aku telah menyusun data-data dalam ingatanku, dan entah mengapa fenomena mistis yang kualami terjadi secara periodik yaitu ketika bulan purnama. Dan ketika bulan purnama ini juga emosionalku seakan-akan terganggu. Aku telah meneliti hal ini semenjak SMA. Dan dari itu pula, aku merasakan ada dorongan di qalbuku untuk puasa ayyumul bidh, yaitu puasa pertengahan bulan sebagai pengontrol diriku.
Sesampainya di kos, aku mengerjakan laporanku sejenak, lalu tertidur.

***

Kupandang langit. Langit seakan murka. Ada sehelai layangan yang terjatuh dan tersangkut di dekat rumah tidak jauh dari tempatku berdiri. Ada rasa kengerian yang menjalar di permukaan kulitku. Nun jauh di sana, ada awan besar berwarna hitam gelap bergerak melingkar, disusul awan awan lain yang datang dan menciptakan angin yang sangat dahsyat. Dapat kulihat beberapa dedaunan dan barang lainnya dilempar angin.

Di sela-sela angin dahsyat itu, aku melihat seseorang. Entah wanita atau pria yang sedang membawa pisau. Dia mendekat ke arahku. Lantas aku menjaga jarak darinya. Aku mencoba lari darinya, namun aku dikejar. Aku berlari menyusuri tanah yang telah lembab oleh gerimis. Hingga aku pun sadar bahwa aku harus melawannya, aku tidak bisa lari terus menerus. Aku pun berhenti dan menghadap ke belakang. Orang itu berada tidak jauh dariku. Dia berada di dekat tiang suatu rumah. Di situ dia menyeringai dengan ganasnya dan menampakkan pisau itu padaku.

Dengan mengumpulkan ketawakkalan kepada Allah, aku arahkan jari telunjuk kananku ke langit seraya bertakbir.
Allahu Akbar!
Bergaunglah suaraku di sekitar tempat itu. Segera aku arahkan telunjukku ke arah dia sambil bertakbir berkali-kali.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Dia mengerang seakan-akan kepanasan dan tampak juga seakan-akan mengeras membeku. Segera kulanjutkan dengan membaca Al-Fatihah. Dia mendekat ke arahku dengan gerakan lambat seperti sedang melawan sesuatu yang menahannya.
Ketika ia cukup dekat denganku, ia lantas menusukkan pisau yang digenggamnya ke perutnya sendiri. Darah segar mengalir dari perutnya dan dari mulutnya. Dahsyatnya lagi, dia masih mampu tertawa dengan tawa ganasnya.
Hahaha! Dajjal akan tiba!
Aku segera mencabut pisau itu dari perutnya dan pergi dari tempat itu.
Tiba-tiba aku telah berada di tempat lain. Ya, di kosku. Aku baru saja terbangun dari tidurku. Tidur dengan mimpi yang aneh lagi. Sebelumnya, aku memang pernah bermimpi mengenai melawan makhluk-makhluk jahat dalam mimpi dengan kalimat dzikir dan ayat Al-Qur’an. Seperti pada mimpi beberapa bulan sebelumnya, yaitu aku bertakbir sambil menunjuk ke arah penyihir hingga ia terpental jauh.

Memoriku seakan-akan berdatangan dan menyusun pertanyaan dalam benakku. Apakah maksud semua ini? Apakah maksud mimpi-mimpi ini? Bahkan mimpi-mimpi ini seperti episode bersambung. Dan...ada apa dengan bulan Purnama? Mengapa diriku begitu tidak stabil ketika bulan purnama? Apakah itu hanya perasaan saja? Apakah semua ini suatu pertanda?



2 Komentar

  1. Ceritanya​ bikin penasaran, cukup menarik.Mungkin harus lebih di perbanyak lagi masalahnya jadi tidak hanya terfokus satu saja.😊

    BalasHapus
  2. di tunggu kelanjutannya��

    BalasHapus

Posting Komentar