Hi guys!
Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga sehat selalu ya.
Ada yang tau hari ini hari apa?
Hari Kamis!
Ya benar! Tapi ada yang spesial di hari Kamis ini. Hari ini adalah Hari Penglihatan Sedunia 2024, yang jatuh pada hari Kamis minggu kedua bulan Oktober setiap tahunnya. Mari kita jadikan momentum ini sebagai pengingat untuk selalu menjaga mata kita, karena mata kita ini adalah anugerah terindah dari Allah SWT sehingga kita dapat melihat ciptaan-Nya yang indah-indah.
Oke, kali ini aku mau share pengalamanku seputar dunia penglihatan. Yap! Mungkin teman-teman sudah tau kalau aku pengguna kacamata, dan saat ini sudah berjalan hampir 2 tahun. Sebenarnya aku menyadari ada yang tidak beres dengan penglihatanku itu jauh sebelumnya. Dan berikut kisahnya.
Pada akhir SD, yaitu sekitar tahun 2012. Aku mengalami fenomena aneh di suatu malam ketika aku sedang melihat langit malam. Jadi, aku punya kebiasaan untuk melihat langit malam, baik bulan, bintang, atau awan-awan, dan kebiasaan itu terus berlangsung sampai sekarang. Pada malam itu, aku melihat bulan berbeda dari biasanya, bulan itu berbayang! seperti ada 2 bulan yang beririsan. Dan aku tidak tahu itu apa dan kenapa. Tapi yang kusadari, ketika aku menyipitkan mata, bayangan itu menghilang.
"Mungkin mataku kecapean," pikirku.
Aku tidak memikirkan lebih lanjut karena pikirku mungkin akan hilang kalau aku tidur. Ternyata, keesokan harinya penglihatanku masih berbayang, begitupun hari-hari selanjutnya. Aku belum memberitahukan masalah ini kepada kedua orangtuaku karena khawatir mereka marah, takut dikira karena aku banyak main HP (Ketika akhir SD, aku sudah memiliki HP dan baru kugunakan untuk mengeksplor Google, YouTube, Facebook, dan Twitter. Sementara di tahun 2013 aku mulai ngeblog, seperti yang kuceritakan di postinganku Pengalaman Custom Domain Blogspot dan Perjalananku Ngeblog dari Awal hingga Kini).
Aku pun menjalani masa-masa SMP seperti biasa. Ketika SMP ini, biasanya susunan tempat duduk dirolling dari depan ke belakang tiap bulannya. Ketika posisi dudukku di depan atau di tengah aku tidak masalah karena masih bisa ngeliat tulisan di papan tulis, tapi ketika tiba masa di mana aku duduk paling belakang, disitu aku mulai kesulitan melihat papan tulis karena agak berbayang. Aku pun biasanya meminta tolong teman sebangkuku untuk membacakannya untukku atau melihat catatannya.
Beranjak SMA, aku masih belum menggunakan kacamata. Persoalannya masih sama ketika SMP, yaitu kadang susunan tempat duduk dirolling sehingga ketika aku posisi di belakang, aku agak kesulitan melihat. Tapi ketika SMA ini umumnya aku duduk di depan atau di bagian tengah, jarang duduk di belakang kecuali ditempatkan guru pas ujian 😅
Awal masuk kuliah, aku pun masih belum menggunakan kacamata meski terkadang mataku agak sakit kalau lihat proyektor di papan tulis lama-lama dan juga kalau malam aku benar-benar kesulitan melihat karena cahaya lampu, motor, mobil dan sebagainya terlalu menyilaukan di mataku (karena sumber cahaya yang kulihat seakan-akan ada dua, jadi cahayanya mengganda). Syukurnya ketika kuliah ini aku bisa ngambil bangku paling depan karena posisi tempat duduk tidak ditentukan. Aku pun selalu ambil posisi paling depan atau 2 bangku dari depan, sampai-sampai ada salah satu dosenku yang juga menjadi dosen penguji di Ujian Komprehensif berkata kalau beliau mengenalku karena aku sering duduk di bangku paling depan.
Pernah ada persitiwa aku datang terlambat, dan untungnya masih masuk batas toleransi keterlambatan 15 menit jadi aku masih diizinkan masuk. Aku pun mengambil jalan mutar ke belakang lalu duduk di bangku yang kosong. Dan ya! Aku tidak bisa melihat jelas apa yang tertulis di papan tulis. Aku pun maju ke bangku yang di tengah, masih kesulitan untuk melihat jelas, hingga aku menemukan satu bangku kosong di bangku nomor 2 dari depan, akhirnya baru aku bisa nyaman belajar.
Aku sebelum memakai kacamata |
Pada bulan Februari 2021, aku tiba-tiba punya keinginan untuk memeriksakan mataku, selain karena penasaran dengan apa yang kualami, saat itu mataku juga mulai sering sakit. Akhirnya di hari Sabtu 27 Februari 2021, aku pun mencoba memeriksakan diri ke dokter mata di salah satu Rumah Sakit Mata di Kota Pekanbaru.
Degdegan rasanya ketika akan diperiksa karena selama bertahun-tahun aku tidak tahu apakah mataku ini minus atau silinder dan berapa sebenarnya minus atau silindernya itu. Ketika nomor urutku dipanggil, aku pun dipersilakan masuk di suatu ruangan yang mana di sana ada alat unik yang aku tidak tahu namanya. Aku disuruh mendekatkan mukaku ke alat itu dan melihat ke dalamnya melalui dua lubang seperti di mikroskop. Di dalam alat itu aku cuma melihat pemandangan dan satu objek di tengahnya, lalu disuruh fokus pada objek itu. Dokter itu pun mengumpulkan informasi dari alat itu dan kemudian bilang kalau mataku akan dihembuskan angin, jadi jangan berkedip. Pada percobaan pertama, aku refleks berkedip. Akhirnya diulang beberapa kali.
Setelah dari alat itu, aku langsung menuju suatu bangku dan di depan layar ditampilkan tulisan-tulisan dari besar hingga kecil (snellen chart) menggunakan proyektor. Dokter menyuruhku untuk membaca dan ternyata aku bisa membaca semuanya sampai bawah. Wah! mengherankan sekali, berarti bukan minus. Tapi unik juga, kenapa aku bisa membaca tulisan-tulisan itu tapi ketika di papan tulis pas kuliah malah tidak terbaca?
Aku lalu diarahkan ke suatu ruangan dan ada dokter di dalamnya, seorang ibu-ibu berjas putih yang menunggu dengan senyum. Aku duduk berhadapan dengan beliau lalu beliau menanyakan apa keluhan yang aku alami. Aku pun memberitahu bahwa penglihatanku berbayang dan akhir akhir ini mataku sering sakit. Setelah itu mataku dicek kembali menggunakan suatu alat dan beliau pun mengatakan sepertinya aku ada silinder 0.25 s/d 0.50 di mata kanan. Kemudian aku diarahkan untuk kembali ke ruang pemeriksaan minus sebelumnya dan kini diganti lensa silinder. Mulai dari lensa 0.25 hingga 0.50 dicoba, setiap kali dokter menanyakan "Masih berbayang?", aku pun menjawab "Masih, Pak".
"Aneh," pikirku, mungkin demikian juga yang dipikirkan dokternya. Aku pun diarahkan kembali kepada dokter sebelumnya.
Di ruangan dokter itu, kami pun berdiskusi. Beliau juga bingung kenapa di alat terdeteksi silinder tapi aku masih melihat tulisannya berbayang walau sudah dipakaikan lensa silinder sesuai ukuran yang diperkirakan. Aku pun teringat satu hal.
"Dok, ada satu yang mau saya tanyakan," ujarku.
"Apa itu?"
"Mata kiri saya tidak bisa melirik ke kiri dok"
Setelah itu dokter pun mengambil pena dan menyuruhku untuk memfokuskan pandanganku ke pena itu sambil pena nya digerakkan ke atas, ke bawah, ke kiri, dan ke kanan. Yap, ketika pena diarahkan ke kiri, mata kiriku tidak bisa melirik ke arah itu sementara mata sebelah kanan bisa. beliau pun menyadari kalau aku mengalami suatu gangguan saraf di mata kiriku. Beliau mengatakan bahwa itu disebut Sixth Nerve Palsy atau disebut juga Kelemahan Saraf Abdusen. Saraf abdusen ini berfungsi untuk mengendalikan otot mata rektus lateral yang berperan sebagai penggerak mata ke arah luar, misalnya melihat ke arah telinga. Kasus ini lumayan jarang terjadi, menurut penelitian Patel et al. (2004), kasus ini bisa terjadi pada 11 dari 100.000 orang tiap tahunnya di Amerika Serikat. Sementara itu penelitian Jung et al. (2019) menyebutkan bahwa kasus ini bisa terjadi pada 5 dari 100.000 orang tiap tahunnya di Korea Selatan. Untuk di Indonesia aku belum menemukan datanya.
"Sejak kapan seperti ini?" tanya dokternya.
"Mungkin dari kecil Bu, atau dari lahir, kurang ingat juga".
Ya, karena waktu kecil aku tidak menyadarinya. Cuma, ketika melihat album foto waktu kecil, aku bisa melihat memang sejak kecil tidak ada fotoku yang melirik ke kiri.
Beliau pun mengatakan bisa jadi penglihatan berbayangku ini karena pengaruh dari Sixth Nerve Palsy itu, karena efek lain dari gangguan ini adalah penglihatan ganda. Tapi beliau masih kurang yakin karena banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Akhirnya, aku hanya diberikan resep obat tetes mata untuk mengatasi mataku yang sakit. Beliau berpesan agar minggu depan menemui beliau lagi dan melihat perkembangannya, kalau misalnya memang masih berbayang dan karena silinder, beliau akan membantuku untuk membuatkan kacamata kalau aku mau.
Seminggu kemudian alhamdulillah mataku tidak terlalu sakit lagi. Namun aku belum bisa menemui beliau setelahnya karena pada saat itu aku lumayan sibuk ke kampus. Aku pun menjalani hari-hari seperti biasanya, dengan penglihatan yang masih berbayang.
Pertengahan tahun 2021, aku mulai melaksanakan pra-penelitian. Jadi, penelitian yang akan kulakukan nantinya ialah kultur jaringan yang mana menggunakan bagian kecil dari tanaman (eksplan) untuk ditanam pada media dalam kondisi steril (baca selengkapnya mengenai materi Kultur Jaringan atau kisahku selama di laboratorium), hal ini membutuhkan ketelitian yang tinggi. Dari pra-penelitian ini aku menyadari kalau gangguan penglihatanku ini menyebabkan aku kesulitan mengupas kulit biji jeruk. Aku perlu mendekatkan mukaku ke biji jeruk itu, tapi cara ini sangat tidak disarankan karena meski sudah menggunakan masker, bisa saja dari hembusan napas atau sesuatu dari tubuhku mengontaminasi biji jeruk yang akan kutanam.
Aku melaksanakan pra-penelitian hingga bulan Maret 2022 dan bulan-bulan berikutnya aku pun menyusun proposal, hingga akhirnya aku selesai mengurus semua persyaratan untuk Seminar Proposal di bulan November 2022. Tiba-tiba aku kepikiran untuk memeriksakan mataku kembali, karena setelah Seminar Proposal nantinya aku akan melaksanakan penelitian yang sebenarnya. Berkaca dari pra-penelitian, dengan kondisi penglihatan seperti ini, aku bisa kewalahan ketika penelitian nantinya.
Menjelang akhir bulan November 2022, aku pulang ke Dumai sebentar untuk rehat sejenak sekaligus meminta restu orangtuaku sebelum melaksanakan Seminar Proposal. Pada kesempatan ini aku menyempatkan untuk mengecek mata di RSUD Dumai ditemani Oomku. Kami ke Puskesmas terlebih dahulu untuk membuat surat pengantar lalu ke RSUD. Disana, Aku mengantri dan mendaftar dengan BPJS. Setelah cukup lama, aku diarahkan ke poli mata dan mulai melakukan pengecekan seperti sebelum-sebelumnya.
Dimulai dengan pengecekan visus mata menggunakan poster snellen chart (berbeda dengan di Pekanbaru yang snellen chartnya melalui proyektor), lalu dilanjutkan ke ruangan dokter dan diperiksa menggunakan alat. Dari pemeriksaan visus mata, dikatakan kalau mataku minus 0.5 sementara mata kiri normal.
"Kemarin silinder, sekarang minus?" batinku.
Aku jadi bingung. Tapi sewaktu pemeriksaan visus mata, memang ketika menggunakan lensa -0.5 aku bisa melihat dengan jelas. Akhirnya akupun dibuatkan resep dan bisa memesan kacamata di salah satu dari dua toko optik yang bekerjasama dengan RSUD. Aku memilih toko optik yang lokasinya tak terlalu jauh dari rumahku.
Setelah memberikan resep kacamatanya, aku diberitahu untuk datang lagi sekitar 2 hari kemudian. Akhirnya setelah 2 hari aku kembali ke toko optik itu.
"Atas nama siapa?"
"Arianto, Bu".
Beberapa saat mencari, Ibu itu pun memberikan sebuah kotak kacamata kepadaku.
"Coba dites dulu," ujar Ibu itu.
Aku pun mencoba memakainya dan seketika mataku berkaca-kaca. Aku bisa melihat nama toko seberang jalan dengan jelas. Dunia rasanya jadi lebih jernih. Setelah itu, aku melepas kacamatanya dan meletakkannya kembali ke kotaknya.
"Enggak langsung dipakai aja?" tanya Ibu itu.
"Enggak Bu, nanti aja," jawabku.
Ya... aku masih agak malu pakai kacamata. Dan juga sepertinya mataku perlu beradaptasi dengan kacamatanya.
Aku dan kacamata pertamaku |
Wkwk iyaa relate sii.. cuman kacamataku jarang melorot ri, karna idungkuu aga mancung laa (pede amat yaaa.. wkwk)... Yang nyebelin nya kalo lagi hujan naik motor, kacamata udh buram aja, kudu buru2 dilap pake hijab :'), atau sering kecarian kalo lupa ngeletakin kacamata dimana .. wkwk
BalasHapusWah syukurlah kalau hidungnya mancung 😅 privilege hidung mancung, kacamata ngga melorot
BalasHapusBener banget, kalau hujan-hujan naik motor kacamata bisa buram, apalagi kalo malam, cahaya-cahaya membias jadi agak kesulitan juga buat ngeliat
Kalo aku biasanya selesai pake kacamata langsung kuletakin ke kotaknya, simpan di rak buku, jadi ga kecarian 😅
Posting Komentar